Masih dalam lanjutan cerita saya jalan-jalan di Negeri Sang
Penakluk. Kurang lebih 500 meter ke arah tenggara dari Candi
Bajangratu (S7.568520 - E112.398270), kita akan menemui Candi Tikus
(S7.571990 - E112.403140).
Sejak ditemukan pertama kalinya pada tahun 1914, kemudian sampai
dilakukan pemugaran sekitar tahun 1983 - 1986, candi Tikus secara
administratif terletak di dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan
Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, telah banyak mengundang
perhatian para pakar sejarah kuno dan arkeologi untuk menentukan
makna dan fungsi dari bangunan itu, baik dari segi arsitektural
maupun ditinjau dari segi religius.
| | | | | | |
| | | [navigasi.net] Budaya - Candi Tikus Tangga menurun yang terletak di sisi utara semakin mempertegas bahwa candi ini memang dibangun dibawah permukaan tanah. | | | | |
Konon, nama Candi Tikus diberikan lantaran ketika dilakukan
pembongkaran pada tahun 1914, oleh Bupati Mojokerto R.A.A Kromojoyo
Adinegoro, disekitar candi itu pernah menjadi sarang tikus, dan
hama tikus ini menyerang desa disekitarnya, setelah dilakukan
pengejaran kawanan tikus itu selalu masuk ke gundukan tanah, yang
setelah dibongkar ditemukan sebuah bangunan terbuat dari bahan bata
merah dan denah persegi empat dengan ukuran 29,5 m x 28,25 m.
Mengutip dari buku karangan Drs I.G. Bagus L Arnawa, secara
pasti tidak diketahui kapan candi Tikus ini didirikan karena tidak
ada sumber sejarah yang memberitakan tentang pendirian candi ini.
Dalam kitab Nagarakertagama yang ditulis oleh Prapanca pada tahun
1365 M (yang telah diakui oleh para pakar sebagai suatu sumber
sejarah yang cukup lengkap memuat tentang kerajaan Majapahit,
khususnya pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk), tidak
disebutkan tentang eksistensi candi ini.
Namun demikian, ini tidak berarti bahwa serangkaian penelitian yang
ditujukan guna mencari dan menentukan saat dibangunnya candi Tikus ini
lantas manjadi tidak bisa dilaksanakan. Setidaknya, berdasarkan kajian
arsitektural, diperoleh gambaran perbedaan dalam hal penggunaan bahan
baku candi, yaitu bata merah.
Adanya perbedaan penggunaan bata merah (baik perbedaan kualitas
maupun kuantitasnya), memberikan indikasi tentang tahapan pembangunan
candi Tikus. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para arkeolog,
terbukti bahwa bata merah yang berukuran lebih besar berusia lebih tua
dibandingkan dengan bata merah yang berukuran lebih kecil. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa selama masa berdiri dan berfungsinya, candi Tikus
pernah mengalami dua tahap pembangunan. Pembangunan tahap pertama dilakukan
dengan mempergunakan batu bata merah yang berukuran lebih besar sebagai
bahan bakunya, sedangkan pembangunan tahap kedua dilakukan dengan
mempergunakan bata merah yang berukuran lebih kecil.
| | | | | | |
| | | [navigasi.net] Budaya - Candi Tikus Candi Tikus yang sebenarnya merupakan tempat pengaturan air di zaman kerajaan Majapahit, bukan tempat pemujaan seprti halnya candi-candi lain pada umumnya | | | | |
Lain halnya dengan pendapat yang dikemukankan oleh N.J. Krom lewat
buku "sakti"-nya yang berjudul Inleiding tot de Hindoe Javaansche Kunst
II (Pengantar Kesenian Hindu Jawa). Dengan memperhatikan bahan dan gaya
seni dari saluran air, pakar sejarah kesenian Jawa kuno berkebangsaan
Belanda itu berasumsi bahwa ada dua tahap pembangunan candi Tikus.
Tahap pertama, saluran airnya terbuat dari bata merah dan memperlihatkan
bentuknya yang kaku. Sedangkan tahap kedua saluran airnya terbuat dari batu
andesit dan memperlihatkan bentuknya yang lebih dinamis serta dibuat pada
masa keemasan Majapahit. Ini berarti pula bahwa menurut Krom, candi Tikus
telah berdiri sebelum kerajaan Majapahit mencapai puncak keemasannya, yaitu
pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 - 1380).
Sementara itu, ketika dilakukan pemugaran pada tahun 1984/1985, berhasil
disingkap sisi tenggara bangunan candi Tikus. Kaki bangunan yang terdapat di
sisi tersebut, menunjukan perbedaan ukuran bata merah yang dipergunakan sebagai
bahan bakunya. Hal ini semakin memperkuat dugaan mengenai dua tahap pembangunan
candi tersebut. Kaki bangunan tahap pertama yang tersusun dari bata merah yang
berukuran besar, tampak ditutup oleh kaki bangunan tahap kedua yang tersusun dari
bata merah yang berukuran lebih kecil. Kapan secara pasti pembangunan tahap
pertama dan kedua ini dilakukan, belum jelas benar.
Adanya tangga yang menurun di sebelah utara, memberi kesan bahwa
bangunan candi Tikus ini memang sengaja dibuat dibawah permukaan
tanah. Tangga menurun disebelah utara itu, sekaligus merupakan
petunjuk bahwa bangunan memiliki arah hadap ke utara. Dua buah
kolam berbentuk persegi empat yang berukuran 3,5 x, 2 m dengan
kedalaman 1,5 m, mengapit tangga masuk. Masing-masing kolam
tersebut dilengkapi dengan tiga buah pancuran air yang berbentuk
bunga padma (teratai) dan terbuat dari bahan batu andesit.
Pada sisi selatan teras terbawah terdapat sebuah bangunan
berdenah persegi empat dengan ukuran 7,65 m x 7,65 m. Bangunan ini
dianggap sebagai bangunan utama dari candi Tikus yang dilengkapi
dengan 17 buah pancuran air yang berbentuk bunga padma dan makara.
Pada bangunan induk tersebut, terdapat sebuah menara dan
dikelilingi oleh 8 buah menara yang berukuran lebih kecil.
| | | | | | |
| | | [navigasi.net] Budaya - Candi Tikus Pemandangan dari sisi Timur Laut dari Candi Tikus | | | | |
Susunan menara yang demikian itu telah menarik perhatian seorang
Belanda yang bernama A.J. Bernet Kempers yang mengaitkannya dengan
konsepsi religi. Dalam bukunya yang berjudul Ancient Indonesia Art,
ia yang telah banyak berjasa dalam menyingkap masa pengaruh agama
Hindu - Budha di Indonesia lewat kajian candi-candi yang mengatakan
bahwa candi Tikus merupakan replika dari gunung Meru.
Gunung meru merupakan gunung suci yang dianggap sebagai pusat
alam semesta yang mempunyai suatu landasan kosmogoni yaitu
kepercayaan akan harus adanya suatu keserasian antara dunia dunia
(mikrokosmos) dan alam semesta (makrokosmos). Menurut konsepsi
Hindu, alam semesta terdiri atas suatu benua pusat yang bernama
Jambudwipa yang dikelilingi oleh tujuh lautan dan tujuh daratan dan
semuanya dibatasi oleh suatu pegunungan tinggi. Jadi Sangat mungkin
Candi Tikus merupakan sebuah petirtaan yang disucikan oleh pemeluk
Hindu dan Budha, dan juga sebagai pengatur debit air di jaman
Majapahit.
Selain berfungsi sebagai pengatur debit air di kota, letaknya
yang diluar kota itu memberi kesan bahwa sebelum masuk kota, air
harus disucikan terlebih dahulu di candi Tikus. Dalam hal ini, jika
bentuk bangunan candi Tikus dianggap sebagai manifestasi dari
gunung Meru, maka setiap air yang keluar dari bangunan induk ini
dipercaya sebagai air suci (amerta). Tak heran, bila kemudian air
yang keluar dari candi Tikus juga dipercaya memiliki kekuatan magis
untuk memenuhi harapan rakyat agar hasil pertanian mereka berlipat
ganda dan terhindar dari kesulitan-kesulitan yang merugikan
(ric)
Sumber : Mengenal Peninggalan
Majapahit di daerah Trowulan - Drs I.G Bagus L
Arnawa
|